Dalam konsep Islam, utang piutang
merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai ta‟awun (tolong menolong).
Dengan demikian utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam
pandangan Islam juga mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang juga memiliki
nilai luar biasa terutama guna bantu membantu antar sesama yang bagi yang tidak
mampu secara ekonomi atau sedang membutuhkan. Keinginan yang begitu baik, maka
tujuan utang piutang tolong menolong, transaksi ini terlepas dari unsur
komersial dan usaha yang berorientasi pada keuntungan. Kata utang dalam
penyebutanya terdapat dua buah kata, yakni kata dayn dan kata qardh. Dalam
tulisan ini penulis akan mencoba membahas beberapa permasalahan yang menyangkut
tentang utang dengan melampirkan dalil Al-Quran dan Hadis sebagai penguat dalam
pembahasannya.
Hutang piutang dalam hukum Islam
hukumnya diperbolehkan dan dapat dinyatkan sah, apabila terpenuhinya rukun dan
syarat, salah satunya yaitu tidak adanya tambahan baik berupa uang maupun
barang yang disebut riba. Pada hakikatnya hutang piutang dalam Islam dilakukan
atas dasar tolong menolong untuk kebaikan. Islam adalah agama yang sempurna dan
rahmatan lil’alamin (membawa manfaat bagi alam semesta) yang mengatur semua
aspek kehidupan manusia yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Salah satu
yang diatur adalah masalah aturan atau hukum, baik yang berlaku secara
individual maupun sosial, atau lebih tepatnya Islam mengatur kehidupan
bermasyarakat. Allah SWT telah menciptakan manusia agar saling membutuhkan
pertolongan satu sama lain, dan pada hakikatnya manusia juga disebut sebagai
makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain untuk kelangsungan
hidupnya.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan
ridho Allah Swt., maka ia akan selamat dengan kebaikan. Akan tetapi bila kosong
dari keilmuan dan keimanan, maka ia akan tersesat dengan tingkah laku
keburukan. Maka sambutlah Kitab Allâh Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi
Shallallahu‘alaihi wa sallam dengan penuh antusias, pembahasan kali ini mengenai
hutang piutang; agar kita bisa melunasi hutang dan mendapatkan rahmat-Nya.
Dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat cahaya dan petunjuk; terdapat ruh dan
kehidupan, yang membentengi dari syetan dan godaannya.
Hubungan manusia sebagai makhluk
sosial ini dikenal dengan isitilah mu‟amalah. Hukum-hukum mengenai muamalah
telah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur‟an dan dijelaskan pula oleh
Rasullullah dalam As-Sunnah. Adanya penjelasan itu perlu, karena manusia memang
sangat membutuhkan keterangan masalah tersebut dari kedua sumber utama hukum
Islam. Juga karena manusia memang membutukan makanan untuk memperkuat kondisi
tubuh, membutuhkan pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan lainnya yang
digolongkan sebagai kebutuhan primer yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan
sekunder manusia dalam hidupnya. Dan hukum-hukum mengenai muamalah diatur
karena agar terhindarnya manusia berbuat curang dan tidak adil atau
mementingkan diri sendiri dibandingkan kemaslahatan bersama dan sifat tamak
yang kadang ada pada diri manusia tersebut.
Kebutuhan manusia beragam, terus
bertambah dan meningkat. Mulai dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan juga
kebutuhan lainya seperti pembiyayaan rumah sakit, anak sekolah, dan dana
tambahan untuk memulai atau mengembangkan bisnis. Pemenuhan kebutuhan ini salah
satunya dengan jalan meminjam uang ke saudara, teman, ataupun ke lembaga
keuangan. Berhutang dengan cara meminjam uang, merupakan salah satu cara
masyarakat dalam bermu‟amalah demi memenuhi kebutuhan mendesak yang diakibatkan
oleh permasalahan perekonomian dan keuangan yang tidak stabil. Kegiatan hutang
piutang dengan cara meminjam uang adalah salah satu kebutuhan manusia dimana
kegiatan ini telah dilakukan masyarakat sejak masyarakat mengenal uang sebagai
alat pembayaran yang sah. Hampir seluruh masyarakat telah menjadikan tradisi
pinjam-meminjam uang sebagai salah satu cara untuk mendukung perkembangan
kegiatan perekonomiannya dan meningkatkan taraf kehidupan mereka. Oleh karena
itu manusia disebut makhluk sosial yang artinya makhluk yang saling membutuhkan
satu sama lain. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud riba menurut Al-Mali,
riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau komoditas tertentu
yang tidak di ketahui perimbangannya menurut ukuran syara‟, ketika berakad atau
dengan mengakhiri takaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.
Menurut Abdul Rahman Al-Jaziri, riba adalah akad yang terjadi dengan pertukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara‟ atau terlambat salah
satunya. Pendapat lain dikemukakan oleh Syeh Muhammad Abdullah bahwa riba
adalah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan. Hal-hal yang
Menimbulkan Riba Dalam pelaksanaanya, maslah riba diawali dengan adanya
rangsangan seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang dianggap besar dan
menggiurkan. Dalam kaitan ini mengemukakan, bahwa jika seseorang menjual benda
yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah
satu dari dua macam mata uang, yaitu emas, perak, dan yang lainnya, maka
disyaratkan sebagai berikut:
a. Sama
nilainya (tamsul).
b. Sama
ukurannya menurut syara‟, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya.
c.
Sama-sama tunai (taqabut) di majelis akad. Al-Qardh Sebagai Bentuk Akad Sebelum
memasuki pembahasan tentang pengertian dan dasar hukum dari Al-Qardh, di sini
akan dibahas terlebih dahulu mengenai berbagai macam akad dalam Lembaga Keuangan
Syariah yang didalamnya terdapat akad qardh atau yang kita sebut hutang
piutang. Dalam konteks masalah muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan
sehari-hari, cakupan hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang bersifat
perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau
perikatan, hukum pidana, peradilan dan sebagainya.
Pembahasan
muamalah terutama dalam masalah ekonomi tentunya akan sering kali ditemui sebuah
perjanjian atau akad. Akad merupkan peristiwa hukum antara dua pihak yang
berisi ijab dan kabul, secara sah menurut syara‟ dan menimbulkan akibat hukum.
Jika kita kaitkan dengan sebuah bentuk kontrak, maka kita akan mencoba
mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan dikarenakan akad merupakan dasar sebuah
instrumen dalam lembaga tersebut, terutama di Lembaga Keungan Syariah Akad
menjadi hal yang terpenting. Hal ini terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu
dilakukan di dalam Islam. Akad merupkan peristiwa hukum antara dua pihak yang
berisi ijab dan kabul, secara sah menurut syara‟ dan menimbulkan akibat hukum.
Jika kita kaitkan dengan sebuah bentuk kontrak, maka kita akan mencoba
mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan dikarenakan akad merupakan dasar sebuah
instrumen dalam lembaga tersebut, terutama di Lembaga Keuangan Syariah Akad
menjadi hal yang terpenting. Hal ini terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu
dilakukan di dalam Islam.
Menurut
ulama Hanafiyah:
اﻟﻘﺮض ھﻮ ﻣﺎ ﺗﻌﻄﯿﮫ ﻣﻦ ﻣﺎ ل ﻣﺜﻠﻲ ﻟﺘﺘﻘﺎ ﺿﺎ ه ، او ﺑﻌﺒﺎ رﺓ أﺧﺮى ھﻮ ﻋﻘﺪ ﻣﺨﺼﻮﺹ ﯾﺮﺩﻋﻠﻰ ﺩ ﻓﻊ ﻣﺎ ل ﻣﺜﻠﻲ ﻷ ﻣﺜﻠﮫ ﺧﺮﻟﯿﺮﺩ
Artinya: Qardh adalah harta yang
diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau
dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian
yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian
dikembalikan persis seperti yang diterimanya. Jelasnya, qardh atau hutang
piutang adalah akad tertentu antara dua pihak, satu pihak menyerahkan hartanya
kepada pihak lain dengan ketentuan pihak yang menerima harta mengembalikan
kepada pemiliknya dengan nilai yang sama.
Dalam bermu‟amalah sehari-hari
seperti berhutang sudah pasti tidak lepas dari ketentuan syari‟at islam baik
yang tercantum dalam Al-Quran maupun As Sunnah. Adapun dasar hukum hutang
piutang yaitu:
A. Dasar dari Al-Quran adalah firman Allah
SWT:
1.
Surah Al-Baqarah (2) ayat 245:
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Artinya: Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah),
maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya-lah
kamu dikembalikan.
2.
Surah Al-Hadid (57) ayat 11:
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗ وَلَهٗٓ اَجْرٌ كَرِيْمٌ
Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan
kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman
itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak.
3.
Surah At-Taghabun (64) ayat 17:
اِنْ تُقْرِضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا يُّضٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ شَكُوْرٌ حَلِيْمٌۙ
Artinya: Jika kamu meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu
dan mengampuni kamu. Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi kebolehan
melakukan Qardh (memberikan hutang) kedapa orang lain dan imbalannya adalah dilipatgandakan
oleh Allah swt.
Dari
sisi muqridh (orang yang memberikan hutang), islam menganjurkan kepada ummatnya
untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara
memberikan hutang. Dari muqtaridh, berhutang bukan perbuatan yang dilarang,
melainkan dibolehkan karena seseorang berhutang dengan tujuan untuk
memanfaatkan barang atau uang yang dihutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan ia akan mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.
Adapun hikmah disyariatkan qardh
(hutang piutang) dilihat dari sisi yang menerima utang atau pinjaman (muqtaridh)
adalah membantu mereka yang membutuhkan. Ketika seseorang sedang terjepit dalam
kesulitan hidup, seperti kebutuhan biaya untuk masuk sekolah anak, membeli
perlengkapan sekolahnya, bahkan untuk makanannya, kemudian ada orang yang
bersedia memberikan pinjaman uang tanpa dibebani tambahan bunga, maka beban dan
kesulitannya untuk sementara dapat teratasi. Dilihat dari sisi pemberi pinjaman
(muqridh), qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan
perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara,
teman atau tetangganya. Hutang piutang yang terjadi harus sesuai dengan ajaran
syari‟at islam yaitu tanpa adanya tambahan atau pengurangan jumlah uang tunai
yang biasa kita sebut riba. Riba dilarang oleh syari‟at islam sesuai dengan
firman Allah dalam Alqur‟an Surat
Al-baqarah ayat 275, yaitu:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Artinya: Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba. Ada dua macam penambahan pada
qardh (utang-piutang), yaitu sebagaimana berikut ini:
a. Penambahan yang disyaratkan. Demikian
ini dilarang berdasarkan ijma‟. Begitu juga manfaat yang disyaratkan, seperti
perkataan: “Aku memberi utang kepadamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku
untuk menempati rumahmu,” atau syarat manfaat lainnya. Demikian ini termasuk rekayasa
terhadap riba.
b. Jika penambahan diberikan ketika
membayar utang tanpa syarat, maka yang demikian ini boleh dan termasuk pembayaran
yang baik berdasarkan hadits yang telah dikemukakan di pasal dasar al-qardh
(utang-piutang). Tatkala pengembalian barang pinjaman, yang diwajibkan adalah
seimbang kadarnya. Oleh karena itu, kedua belah pihak disyaratkan harus
mengetahui kadar dan sifat barang yang dipinjamkan. Tujuannya adalah agar
keseimbangannya benar-benar bisa diwujudkan. Dengan demikian, pengembalian
barang pinjaman, baik yang berpotensi riba ataupun bukan, kadarnya harus sama,
tidak boleh lebih sedikit, juga tidak boleh lebih berkualitas atau lebih jelek.
Demikianlah hukum dasarnya. Namun demikian, kelebihan kadar dan sifat, asalkan
tidak disyaratkan, masih dibolehkan. Al-Qur‟an menyinggung masalah riba dalam
berbagai tempat dan tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada
periode Mekkah, turun firman Allah swt yang berbunyi:
Surah Ar-Rum: Ayat 39 :
وَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِّيَرْبُوَا۠ فِيْٓ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللّٰهِ ۚوَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ زَكٰوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Pada
periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas jelasan, yaitu
seperti tercantum dalam Surah Ali-Imran ayat 130:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Adapun
hikmah diharamkannya riba adalah sebagai berikut:
1. Melindungi harta orang muslim agar tidak
dimakan secara batil.
2. Memotivasi orang muslim untuk
menginvestasikan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari
apa saja yang menimbulkan kesulitan dan kemarahan di antara kaum muslimin,
misalnya, dengan cocok taman, industri, bisnis yang benar, dan sebagainya.
3. Menutup seluruh pintu bagi orang
muslim yang dapat memusuhi dan menyusahkan saudaranya, serta membuat benci dan
marah kepada saudaranya.
4. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu
yang menyebabkan kebinasaan, karena pemakan riba adalah orang yang zhalim dan
akibat kezhaliman adalah kesusahan.
5. Membuka pintu-pintu kebaikan di
depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirnya, misalnya dengan memberi
pinjaman kepada saudara seagamanya tanpa meminta uang tambahan atas utangnya
(riba), memberi tempo waktu kepada peminjam hingga bisa membayar utangnya,
memberi kemudahan keapadanya, dan menyayanginya kaerena ingin mendapatkan keridhaan
Allah swt. Itu semua bisa menebarkan kasih sayang sesama kaum muslimin dan
menimbulkan jiwa persaudaraan sesama mereka.
Saudaraku
yang baik hati mari kita kembali mengingat pesan penting dalam Al-Quran dan
Al-Hadits tentang perkara utang-piutang :
1.
Jangan pernah tidak mencatat utang piutang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ… سورة البقرة
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan utang piutang untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah : 282)
2.
Jangan pernah berniat tidak melunasi utang.
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا . رواه ابن ماجة
“Siapa
saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya, maka ia akan bertemu
Allah sebagai seorang pencuri.” (HR Ibnu
Majah ~ hasan shahih)
3.
Punya rasa takut jika tidak bayar utang, karena alasan dosa yang tidak diampuni
dan tidak masuk surga.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ “ يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ
ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
” . رواه
مسلم
“Semua
dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali utang”. (HR Muslim)
4.
Jangan merasa tenang kalau masih punya utang.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
” مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ
أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ
مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ
ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ
دِرْهَمٌ ” . رواه ابن
ماجة
“Barangsiapa
mati dan masih berutang satu dinar atau dirham, maka utang tersebut akan
dilunasi dengan (diambil) amal kebaikannya, karena di sana (akhirat) tidak ada
lagi dinar dan dirham.” (HR Ibnu Majah ~
shahih)
5.
Jangan pernah menunda membayar utang.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ “ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ،
فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى
مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ ”. رواه البخاري
2287 ، مسلم 1564 ، النسائي
، ابو داود
3345 ، الترمذي
“Menunda-nunda
(bayar utang) bagi orang yang mampu (bayar) adalah kezaliman.” (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud,
Tirmidzi)
6.
Jangan pernah menunggu ditagih dulu baru membayar utang.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
” أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ
خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً ”. رواه البخاري ، مسلم ، النسائي ،
ابو
داود
،
الترمذي
“Sebaik-baik
orang adalah yang paling baik dalam pembayaran utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi)
7.
Jangan pernah mempersulit dan banyak alasan dalam pembayaran utang.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
“ أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ رَجُلاً كَانَ
سَهْلاً مُشْتَرِيًا وَبَائِعًا وَقَاضِيًا وَمُقْتَضِيًا الْجَنَّةَ ” . رواه ابن
ماجة ، النسائي
“Allah
‘Azza wa jalla akan memasukkan ke dalam surga orang yang mudah ketika membeli,
menjual, dan melunasi utang.” (HR
An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
8.
Jangan pernah meremehkan utang meskipun sedikit.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
“ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى
يُقْضَى عَنْهُ ”. رواه الترمذي ، ابن ماجة
“Ruh
seorang mukmin itu tergantung kepada utangnya sampai utangnya dibayarkan.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
9. Jangan
pernah berbohong kepada pihak yang memberi utang.
قَالَ ” إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ ”. البخاري ، ، مسلم ، ابو داود ،
النسائي ،
“Sesungguhnya,
ketika seseorang berutang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji
ia akan ingkar.” (HR Bukhari dan Muslim)
10.
Jangan pernah berjanji jika tidak mampu memenuhinya.
…وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا… سورة الإسراء
“…
Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban ..” (QS Al-Israa’: 34)
11. Jangan
pernah lupa membalas kebaikan orang yang telah memberi utang walaupun hanya
dengan do’akan kebaikan.
وَمَنْ آتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ ” . رواه النسائي ، ابو داود
“Barang
siapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu. Jika engkau tidak
menemukan apa yang dapat membalas kebaikannya itu, maka berdoalah untuknya
sampai engkau menganggap bahwa engkau benar-benar telah membalas
kebaikannya.”uh (HR An-Nasa’i dan Abu Daud)
Telah lulus
uji coba praktek pengobatan alternatif medis dan non medis kami disini Klinik
Hati memberikan pelayanan terapi dan motivasi kepada pasien.
Nah, demikianlah ulasan lengkap yang
bisa kami berikan kali ini mengenai hutang piutang. Agar anda dipermudah urusan
utang dengan pemahaman atau memperoleh manfaat dari materi diatas, semoga
senantiasa diberi izin atas nikmat dan berkah dari Allah SWT.
Semoga
bermanfaat, Wallahu A'lam Bishowab.
Jika ingin mengetahui secara lebih
terperinci lagi, bisa Anda konsultasikan kepada Ustadz Imam Teguh, Lc yang
beralamatkan di Jalan Kinibalu No. 26 B / 42 Rt01/13 Kel.Sidanegara,
Kec.Cilacap Tengah Kab.Cilacap JAWA TENGAH
atau di nomor WA 0821 1541 1233
Waalaikumsalam
Wr.Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar